Rabu, 06 Mei 2015

Filled Under:

Mahasiswa Idealis vs Mahasiswa Realitstis Dalam Berkarya

Share

Bagi mahasiswa seni, desain ataupun arsitektur, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya asistensi bukan? Ya, asistensi didalam kamus bahasa Indonesia berarti kegiatan 'mengasistensi' tujuannya adalah membantu seorang profesional dalam mengerjakan tugasnya.

Buat para mahasiswa seni, desain dan arsitektur, asistensi adalah serangkaian proses yang rumit, tujuannya adalah untuk mendapatkan persetujuan dari dosen terhadap  tugas perancangan yang sedang dikerjakan. Sebagai contoh, ketika sedang merancang sebuah produk, sebelum produk itu diwujudkan atau dibuat purwarupa (prototype)-nya. Saya seringkali bolak-balik kedosen, mengajukan beberapa alternatif sketsa/desain. Jika dosen menyetujui (mengasistensi) barulah saya dapat melanjutkan tugas perancangan tersebut, jika dosen tidak mengasistensi, maka saya tidak dapat melanjutkan tugas perancangan dan harus membuat alternatif sketsa/desain sebanyak-banyaknya.

(Ilustrasi: Asistensi dengan klien)

Dalam proses asistensi tersebut, seringkali kita dihadapkan oleh dilema, yaitu antara mempertahankan konsep desain yang kita punya (idealis) atau malah mengikuti keinginan dosen (realistis). Beberapa mahasiswa memilih untuk bersikeras mempertahankan konsep atau ide desainnya, beberapa juga ada yang memilih untuk mengambil jalan aman yaitu mengikuti keinginan dosen.

Dari kedua tipe mahasiswa diatas, manakah yang lebih baik? Tipe mahasiswa yang idealis, ataukah tipe mahasiswa yang realistis? Sebelum membahas mana yang paling baik, terlebih dahulu saya akan menjelaskan pengertian dari kedua kata sifat tersebut diatas.

Idealis atau idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.

Pengaruh idealisme tidak hanya terbatas pada tingkat individu, tapi juga hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai idealisme yang mempengaruhi individu contohnya adalah keyakinan mengenai pola hidup, nilai-nilai kebenaran, gaya mengasuh anak, karir dan lain sebagainya. Sedangkan idealisme pada tingkatan negara adalah seperti Ideologi Pancasila, komunisme, liberalism dan masih banyak lagi.

Sedangkan realistis atau realisme adalah suatu sikap/pola pikir yang mengikuti arus. Individu yang realistis cenderung bersikap mengikuti lingkungannya dengan mengabaikan beberapa/semua nilai kebenaran yang dia yakini. Sama dengan idealisme, realisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa dan pikiran seseorang.

Realisme-pun tidak hanya terbatas pada individu, tapi juga pada level-level diatasnya hingga ke tingkat negara. Nilai-nilai realisme yang mempengaruhi individu pada umumnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi. Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada hal-hal lain seperti budaya politik, norma reliji (sistem kepercayaan) dan banyak hal-hal lainnya.

Sebagai seorang mahasiswa,yang katanya merupakan agen perubahan, idealis adalah konsep pemikiran yang baik, karena seseorang yang idealis cenderung tidak mudah terbawa arus lingkungan, memiliki pendirian yang kuat, dan cenderung berani melakukan perubahan. Orang-orang yang memiliki pola pikir idealis sudah terbukti dapat membuat perubahan dan mampu menciptakan berbagai inovasi. Sebut saja salah satu tokoh yang berhasil dengan idealismenya yaitu Leonardo Davinci.

Leonardo davinci adalah seorang legenda yang memiliki predikat lengkap, ia adalah; maestro lukis, pemahat, arsitek, musisi, matematikawan, insinyur, penemu, ahli anatomi, geolog, ahli kartografi, ahli botani, juga penulis handal. Belakangan ia mempelajari seluk-beluk anatomi manusia agar penggambaran sosok orang dalam lukisannya alami. Namun, ia justru terpesona dengan anatomi dan bahkan berambisi menulis sebuah risalah.

Karena ambisinya, ia nekat mencuri dan membedah 30 jasad dari pemakaman. Apa yang ia saksikan kemudian dituangkan dalam ratusan halaman buku catatatannya, dilengkapi sketsa. Akibat perbuatannya itu, ia kemudian dipenjara dan pihak gereja memprotes keras aksinya tersebut. Meskipun demikian, setelah kematiannya, berabad-abad kemudian peneliti dan ahli kedokteran mengakui bahwa gambar sketsa karya da vinci tersebut merupakan penemuan yang sangat berarti bagi dunia sains modern, penemuannya itu mampu menjelaskan anatomi tubuh manusia secara lengkap, memberikan deskripsi akurat pertama soal sirosis hati dan penyempitan pembuluh darah. Bahkan hingga saat ini, di era modern, karya-karya yang dihasilkannya ratusan tahun lalu masih membuat orang terpana dan berdecak kagum. 

Kita ambil contoh lain dibidang sosial, tokoh dunia yang berhasil dengan ideologinya yaitu Martin Luther yang menentang gereja Katolik Eropa. Banyak orang ketika itu mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan kenyataan-kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealisme yang luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan gerakan reformasi (pada masa itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.

Tokoh lain yaitu Socrates. Dia bersikukuh bahwa pemerintahan demokrasi Athena pada kala itu adalah pemerintah yang busuk dan korup. Walaupun banyak kerabatnya dan murid-muridnya yang membujuknya agar tidak terlalu idealis dengan keyakinannya karena akan membahayakan nyawanya, dia tetap saja lantang menentang demokrasi Athena. Walhasil, senat Athena memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk hukuman mati atas penghinaannya kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan idealismenya.

Sebutlah semua seniman seperti; Pablo Ruiz Picasso, Leonardo da Vinci, J. M. W. Turner, Claude Monet, dan Donatello. Serta pemimpin besar dunia seperti; Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che Guevara, Soekarno, Julius Caesar, dan Socrates dan masih banyak lagi yang sudah sukses dengan idealismenya.

Sebutlah semua seniman atau pemimpin besar di bumi ini, maka orang tersebut pada awalnya selalu mempunyai idealismenya sendiri yang pada akhirnya menghantarkannya kepada kesuksesan. Atau mungkin jika ingin menggunakan pembuktian terbalik: coba anda carilah seniman, pemimpin atau orang besar dunia yang tidak punya idealisme, itupun kalau anda bisa menemukannya.


(Ilustrasi: Idealisme Soe Hok Gie)


Idealisme adalah sumber perubahan. Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini, perubahan terjadi karena ada “kesalahan” atas suatu hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan keberanian untuk melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari idealisme.

Mahasiswa yang idealis akan cenderung untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dan teori yang menurutnya benar berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkannya. Prinsip-prinsip tersebut akan digunakannya sebagai alat "benchmarking" terhadap apa yang dihadapinya sehari-hari, sehingga ia tidak mudah dipengaruhi untuk mengikuti arus.

Lain halnya dengan seseorang yang realistis. Sosok realistis cenderung mengutamakan segi praktis dan instan. Baik buruknya sesuatu ditentukan dengan kebermanfaatannya, baik bila menghasilkan keuntungan yang besar dan buruk bila merugikan. Seorang relaistis cenderung bersifat "profit hunter" dan mengabaikan proses untuk mendapatkan profit tersebut. Bahkan dalam prosesnya terkadang menabrak norma-norma yang telah ada. Sehingga memunculkan penyakit malas seperti tugas "copy-paste", titip absen, mencontek, kerjasama saat ujian, bahkan menyuruh teman untuk membuatkan sketsa. Gaya hidup pun cenderung boros.

(Ilustrasi: Fenomena plagiatisme)

Hal inilah yang mungkin sedang terjadi ditengah-tengah mahasiswa modern. Merasa bahwa dirinya harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai mahasiswa terkadang membuat dirinya lupa bahwa masih ada kebutuhan pertumbuhan yang sebetulnya sama pentingnya. Mereka cenderung mengejar kewajiban-kewajiban mereka saja, seperti IP tinggi dan lulus tepat waktu. Kuliah-pulang-kuliah-pulang pun menjadi pilihan yang paling realistis mengesampingkan interaksi sosial yang sebenarnya harus mereka laksanakan mengingat status mahasiswa yang melekat.

Memang tidak mudah bagi seseorang untuk mempertahankan idealismenya di zaman seperti sekarang ini, apalagi  bagi seorang mahasiswa dengan tuntutan kurikulum yang memberikan batasan waktu kuliah selama 5 tahun. Sama halnya dengan tokoh-tokoh tersebut diatas, tidak mudah bagi mereka untuk mempertahankan idealismenya, bahkan beberapa diantara mereka meninggal karena mempertahankan idealismenya.

Penyebab seorang mahasiswa menjadi begitu realistis juga disebabkan oleh sistem disuatu perguruan tinggi itu sendiri; tugas yang diberikan setiap minggu, kuliah yang dibatasi selama 5 tahun, larangan beraktifitas dimalam hari, larangan berdemonstrasi, kuliah menggunakan seragam, dosen killer, biaya spp yang mahal, ospek yang dikendalikan sama tentara, sistem akademik dan birokrasi yang rumit, kesemua hal itu membuat mahasiswa akhirnya menjadi orang yang serba instan, ingin cepat-cepat lulus. (baca; mahasiswa = maha bego). Alhasil, perguruan tinggi hanya akan melahirkan generasi-generasi penurut, penjilat, tidak kreatif, menyalahkan keadaan, dan tidak mandiri.

Maka untuk menghindari hal-hal tersebut diatas, idealisme sangat dibutuhkan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa idealisme tidak bisa berdiri sendiri. Idealisme juga memerlukan realisme. Idealisme dan sikap realistik bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain secara absolut. Tanpa adanya sikap realistik, idealisme hanya akan menjadi angan-angan utopis: bagaikan mimpi di siang bolong. Sikap idealis tanpa sifat realistis hanya akan menjadi bunga tidur dalam kehidupan yang tidak lebih baik dari khayalan orang sakit jiwa.


(Ilustrasi: Akibat terlalu idealis)

(Ilustrasi: Penampilan yang terlalu idealis)

Perlu ada keseimbangan koheren antara sifat idealisme dan realistis agar menjadi manusia seutuhnya. Sikap realistis diperlukan untuk memahami dan menginsyafi kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis diperlukan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam realita. Tidak mungkin seorang manusia hanya mengikuti arus (realistis) selama-lamanya, atau hidup akan menjadi statis. Tidak mungkin juga seorang manusia hanya mengutamakan idealismenya semata dengan mengacuhkan realita kalau tidak ingin dikatakan seorang pemimpi.

KESIMPULAN:

Kembali kepersoalan 'asistensi' yang pernah disinggung diawal tulisan ini. Dalam asistensi, haruskah kita bersikap idealis ataukah realistis?

Umumnya dalam asistensi akan terjadi 'perang persepsi' antara dosen dan mahasiswa. Hal ini wajar, karena manusia tidak mungkin memiliki selera dan pemikiran yang sama. Setiap orang berhak menginterpretasikan suatu permasalahan dengan cara yang berbeda-beda. Kendatipun demikian, layaknya seorang seniman dan desainer, sudah seharusnya kita mempertahankan konsep ataupun ide yang kita punya, hal itu bertujuan agar karya yang dibuat benar-benar orisinil, merupakan buah hasil pemikiran kita sendiri. 

Namun, kita juga harus lapang dada, bersikap legowo jika dosen tidak mengasistensi sketsa ataupun ide desain yang kita buat. Coba diperhatikan kembali, siapa tahu ada yang salah dengan sketsa dan desain tersebut? Atau mungkin karya yang kita buat sudah pernah ada sebelumnya. Nah, ketika inilah kita wajib bersikap realistis. Terakhir, tentu saja harus harus ada sinergitas yang baik antara dosen dan mahasiswa agar karya yang dibuat nantinya benar-benar baik dan kreatif.

Referensi:

http://filsafat.kompasiana.com/2010/11/09/orang-idealis-vs-orang-realistis-318068.html
http://news.liputan6.com/read/534412/hasil-bedah-30-mayat-sketsa-anatomi-da-vinci-terbukti-akurat
http://kbbi.web.id/asistensi
http://ourreference.blogspot.com/2013/01/pragmatis.html

Sumber gambar:
http://budgeting.thenest.com/
http://blog.ub.ac.id/yuliamegayani/files/2014/06/Soe-Hok-Gie.jpg
http://statik.tempo.co/?id=345133&width=620
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvAp4PEQnUF7BhVJG9_2bL_n9R45_suCdQHEAQPanqC3PfQ7982JDGMONVxpqiPTVC81tNqHvlnRTUzH8_XZHVqZ2naFjlcaVNkymi_3VL3JVk2M6ofzcKmdXn-WdE42sN68wWt5J0D4vT/s1600/mahasiswa+aneh.jpg